Sejauh yang saya ingat, saya merasa berbeda dari anak laki-laki lain. Saya adalah anak keempat. Saya bertumbuh dewasa dengan mengetahui bahwa orangtua saya sebenarnya berharap agar saya terlahir sebagai seorang putri. Sebab hal itu tentu saja akan membuat saya menjadi pelengkap yang menyempurnakan dan memberi keseimbangan bagi keluarga yang sudah memiliki seorang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki. Tetapi kenyataannya ibu saya malah melahirkan anak laki-laki ketiga, yaitu diri saya.
Akibatnya, saya bertumbuh dewasa dengan keyakinan bahwa diri saya hanya mengecewakan orangtua, dan lebih merupakan petaka dalam hidup mereka. Saya menghabiskan sebagian besar masa kanak-kanak awal saya dengan bermain-main bersama saudari saya serta membantu ibu melakukan tugas rumah tangga dan memasak. Saya berperan seperti seorang saudari perempuan bagi kakak perempuan saya. Ia mendandani saya seperti boneka manusia-manusiaan yang dapat dimainkannya. Interaksi sosial terawal saya dilewati terutama bersama para wanita. Akibatnya saya mulai mengadopsi perilaku kewanita-wanitaan.
Ayah saya relatif bersikap pasif, tidak sungguh-sungguh tertarik dengan kehidupan saya dan tidak banyak berusaha menjalin relasi dengan saya. Ibu saya memperlakukan saya sebagai suami kecilnya dan seringkali mencurahkan rasa frustrasinya akan ayah kepada saya. Kondisi ini membuat batin saya mengembangkan rasa kasih sekaligus benci terhadap pria lain.
Tahun-tahun saya di bangku SMP dan SMU amat menyakitkan. Teman-teman di sekolah suka menyebut saya dengan nama-nama panggilan seperti “banci”, “homo”, “gay.” Saya mulai melakukan aktivitas seksual bersama beberapa teman laki-laki sebaya, dan sempat dilecehkan secara seksual oleh seorang pria yang lebih tua di lingkungan rumah saya. Kedua hal tersebut membuat saya berpikir bahwa saya memiliki perbedaan yang memalukan, dan keadaan ini tentunya sudah diketahui dengan jelas oleh orang lain.
Di kelas 3 SMA saya memutuskan untuk memberi hidup saya kepada Kristus pada suatu acara yang diselenggarakan oleh suatu sekolah Alkitab. Tetapi saya kecewa karena berjumpa dengan orang-orang Kristen yang sikapnya ternyata tidak banyak berbeda dengan teman-teman saya semasa SMP dan SMU di sekolah. Setiap kali topik homoseksualitas muncul, mereka akan membuat komentar-komentar yang amat negatif, menghina, penuh penghakiman dan kutukan. Komentar-komentar semacam ini membuat saya merasa kosong dan tidak berharga. Saya sebetulnya merindukan penerimaan dan sambutan dari pria lain.
Ketika pria lain menunjukkan perhatian kepada saya, saya segera melahapnya. Tetapi perhatian tersebut seringkali bersyarat. Jika saya ingin diterima oleh mereka, saya harus melakukan hubungan seksual dengan mereka. Saya mempercayai dusta bahwa seks dapat disamakan dengan kasih.
Saya menemukan seorang konselor yang percaya bahwa perubahan adalah sesuatu yang memungkinkan. Hal itu menolong saya mengerti untuk pertama kalinya bahwa ada hal lebih besar dan lebih indah yang tersedia bagi saya dibandingkan hasrat seksual saya terhadap pria lain. Kini saya dapat melihat bahwa Allah-lah yang memberi jati diri kepada saya. Tindakan kasih Allah itu sungguh berlawanan dengan cara orang lain memperlakukan saya ataupun perkataan mereka tentang saya.
Saat saya bekerja terlampau keras, kelelahan, atau merasa tertekan, saya memang masih meragukan diri dan identitas saya. Tetapi saya sudah belajar untuk tidak mendefinisikan diri saya dengan perasaan saya ataupun dengan pencobaan seksual yang saya alami, melainkan dengan jati diri yang Allah berikan kepada saya.
© PancaranAnugerah.ORG. All Rights Reserved. Designed by HTML Codex